Hi All:)
Bulan juli, bulan paling sibuk di sekolah, akhirnya berlalu.Hallo August, please welcome:)
Saya banyak belajar dari suasana sepanjang bulan Juli ini, bulan pertama masuk kerja setelah menyandang status double as a wife and a career woman:)
Saya belajar bahwa salah
satu tanda utama orang yang berpikir adalah bagaimana ia menggunakan
bahasa. Maksudnya menggunakan bahasa tentu bukan seberapa banyak bahasa
yang bisa dipake' cas cis cus...tapi lebih ke pemilihan Kata yang tepat
dan spesifik.
Kemarin, saya ngobrol sama anak kelas 1 sd di cikal cilandak,
kemudian setelah tanya namanya siapa, tanya siapa saja nama temennya,
dan kemudian ada berapa org temannya di kelas. Jawaban anak kecil ini, "
di kelasku, ada 23 temen, tapi kalau termasuk aku, jadinya ada 24
anak".
Masih terbengong-bengong, saya tanya lagi, kenapa dia sendirian
di jam istirahat dan permainan apa yang disenanginya. Jawabnya, "kalau
hari ini, temenku lagi gak ajak aku main kejar-kejaran karena aku ganti
bajunya lama habis PE (Olahraga-red), tapi besok dia ajak aku main lagi karena besok gak ada PE. Kami senengnya main lari-larian dan trampolin sama-sama".
Bayangkan,
betapa anak berusia 6 tahun ini terlihat punya kecerdasan yang tinggi,
hanya lewat satu percakapan sederhana dimana dia bisa menjawab spesifik
dan situasional. Ironisnya, tidak sampai satu jam sesudah itu, saya
ngobrol dengan seorang tua, yang usianya lebih dari 5x anak tadi, yang
bercerita tentang betapa teman-temannya "selalu...." atau "semua..."
atau "tidak pernah..."temen saya begini temen saya negitu.. mereka sih begini ya abis mereka begitu.. dll (curcol mode on). dimana selama hampir 30 menit mengobrol, inti obrolan nya adalah "keluhan" dan dia adalah "korban utama"nya . ironisnya lagi, dia seolah meminta "persetujuan" bahwasannya dia memang "korban" dan patut dikasihani ..
Kalau kita gak terbiasa menggeneralisasi
(memukul rata) dan memandang sesuatu sebagai permanen, ternyata
korbannya adalah kita, yang persoalannya jadi mentok, perasaannya jadi
sumpek dan pertemanannya jadi bentrok. Saya percaya, berada di
lingkungan anak-anak tidak melulu berarti kita mengajar mereka, tapi
banyak sekali yang bisa kita pelajari dari mereka.
Satu
hal lagi yang saya belajar dari murid-murid di tahun ajaran baru
ini, adalah keHebatan mereka, baru masuk ke lingkungan sekolah, kelas,
Teman atau guru baru --- dengan hangat mereka langsung belajar percaya
pada saya, pada rekan-rekan guru, staff lainnya di sekolah.
Bayangkan, menghabiskan waktu sebagai anak yang powerless,
bersama orang-orang baru...atau bagi orangtuanya, meninggalkan anak yang
sangat dikasih di suasana seperti ini...kalau bukan karena kepercayaan
yang luar biasa pada kita semua di cikal, tentu tidak mungkin terjadi.
Tapi aneh rasanya, kalau setelah melihat contoh betapa kita bisa
mendapat kepercayaan, kita sulit melakukan hal yang sama pada orang
lain. Kalau di Islam, sifat khuznu'zon, berprasangka baik, adalah salah
satu akhlak utama yang dicontohkan Nabi SAW.
Saya
percaya bahwa menjadi orang yang lebih percaya pada orang lain, atau
sebaliknya mendapat kepercayaan dari orang lain -- akan membuat kita
jadi lebih terpercaya.
Masalahnya sekarang, mana yang lebih dulu
terjadi... mempercayai orang atau dipercaya orang. Kalau saya, saya
pilih yang pertama, mempercayai orang lain terlebih dahulu, sebelum
merasa layak mendapat kepercayaan. I trust you and I believe in you.
Katanya, berbagi komitmen dengan orang lain, membuat kita lebih teguh
memegang janji. Jadi, beritahu saya pilihan Anda, apapun jawabannya dan
apapun yang ada bagi, tidak merubah janji saya sebelumnya, tidak merubah
rasa percaya saya. Ditunggu ya :)
Salam hangat,
-Intan-